Karakter makanan camilan adalah, dibeli tidak dengan niat dari rumah, tapi bersifat spontan, yaitu karena daya tarik sesaat ketika pembeli melihat produk tersebut. Karena itu yang terpenting dalam menggeluti usaha ini adalah, bagaimana mencari tempat berjualan yang tepat (place).

Hal itu diutarakan oleh Perry Tristianto dalam talk show Gebyar Marketing PRFM, Rabu (15/10), yang malam itu mendatangkan nara sumber Wahyu Eko Widodo, salah seorang owner Desanesia, produk camilan kampung yang kini menjadi bergengsi, yaitu ranginang dan keripik bayam.

Desanesia dimiliki tiga orang anak muda, yaitu Wahyu Eko Widodo, Adinda Soraya Mutialarang dan Sri Nur Cholidah. Namun malam itu yang bisa hadir hanya Wahyu Widodo.

“Jualan seperti ranginang dan keripik bayam dibeli seseorang tidak dengan direncanakan. Tak ada dibenak pembeli sebelumnya hendak membeli camilan. Mereka spontan membelinya. Karena itu yang terpenting bagaimana menciptakan pasar untuk produk seperti ini, jangan memasuki pasar. Misalnya di jual di apotik atau Warnet. Di Warnet orang butuh camilan,” jelas Perry.

Kisah sukses bisnis Desanesia memang menarik. Camilan kampung ini ‘naik kelas’ dan menjadi ‘makanan kota’ serta bergengsi di tangan tiga anak muda ini yang tak pernah lelah terus berusaha. “Andai banyak anak muda seperti kalian, wah, Indonesia makin maju,” jelas Perry.

Ukuran camilan sengaja dibuat mini dan unik hanya seukuran gundu (berukuran seratus gram). Dibuat dengan empat varian rasa yakni keju, keju manis, keju pedas, dan coklat, dengan kemasan menarik dan ngepop. Yaitu berbentuk prisma segitiga dengan warna-warna cerah seperti merah, hijau, dan kuning. Harganya juga dibuat terjangkau, ranginang Rp 23 ribu. Sedangkan keripik bayam dihargai Rp 15 ribu.

Mulianya, Desanesia melibatkan bisnisnya ini dengan wanita atau ibu-ibu dari dua desa. Yaitu di desa Cikoneng di Kabupaten Bandung dan Desa Cikidang di Kabupaten Bandung Barat. Para wanita di Desa Cikoneng, yang mayoritas kaum ibu, giat memproduksi ranginang mini aneka rasa. Sementara untuk pembuatan keripik bayam diserahkan kepada ibu-ibu dari Desa Cikidang.

“Desa Cikoneng dipilih sebagai lokasi produksi ranginang karena sebelumnya di desa ini memang sudah banyak usaha rumahan ranginang. Namun masing-masing usaha bergerak sporadis dalam skala kecil sehingga tidak maksimal,’ ujar Wahyu Widodo.

Dari sana tiga nanak muda ini tergelitik unhtuk ikut membangun bisnis ranginang. “Mulanya di Cikoneng dikuasai oleh satu pengusaha, ibu-ibunya hanya menjadi buruh,” tutur Wahyu.

Sementara itu, di Cikidang menjadi tempat produksi keripik bayam karena wilayah tersebut mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai petani hortikultura. “Petani dihadapkan dengan harga sayuran yang terus anjlok kala musim panen tiba. Disana kita berpikir untuk membuat kripik bayam,” jelas Wahyu.

Berkat Desanesia, ibu-ibu memperoleh penghasilan antara Rp 500-700 ribu per bulan. Pendapatan itu diperoleh dari upah mereka dalam membuat ranginang atau keripik serta ditambah bagi hasil laba untuk produk yang berhasil terjual. “Di akhir tahun, para anggota juga masih mendapat bagi hasil tahunan kelompok, “ jelas Wahyu.

Promosi yang dilakukan Desanesia adalah melalui jejaring sosial, juga memiliki website. Menurut Wahyu, modal awal untuk membangun Desanesia diperoleh dari dana hibah sebuah LSM di Bandung, sebesar Rp 50 juta per desa.